Langsung ke konten utama

Senyum Penuh Damai


Waktu itu, saya kebetulan melewati pertigaan lampu merah menuju SMA saya dulu... Hmm, jadi teringat sewaktu SMA dulu.


SMA-ku termasuk SMA yg super ketat dibanding SMA yg lain. Salah satunya melarang siswanya menggunakan kendaraan bermotor untuk tujuan ke sekolah. Alasannya karena tradisi... Tapi alasan lainnya karena tidak ada lahan parkir. Saya termasuk salah satu diantara sekian banyak siswa SMA 3 yang melanggar aturan itu. Tercatat sudah beberapa kali dihukum, dan mungkin karena gejolak kawula muda waktu itu, naik motor tetap saya lakukan sampai akhirnya tamat. Terakhir, aku denger peraturan itu sudah tidak diberlakukan lagi di SMA 3, alias persada trisma.


Mungkin saya, termasuk juga kebanyakan orang memiliki kepekaan terhadap lingkungan sekitar, termasuk polusi yg meningkat, kemacetan dimana-mana, dan masalah lainnya. Disadari atau tidak peraturan yg diterapkan di sekolah saya dulu sebenarnya salah satu contoh yg patut diacungi jempol. Karena mempunyai sense of environment yg tinggi dan yang terpenting berkelanjutan alias sustainable (walaupun akhirnya peraturan itu dicabut). Berbeda dengan bentuk kepedulian lain yg berupa bersih-bersih lingkungan atau penanaman pohon yg hanya dilakukan pada saat itu juga, tanpa peduli apakah di kemudian hari masih tetap membuang sampah di sungai atau tidak merawat tanaman yg telah ditanam. Anehnya, saya termasuk sebagian besar diantara kebanyakan orang yang sadar terkadang masih belum bisa mempraktekkan budaya yg peduli lingkungan, terutama peduli yg berkelanjutan.


Dan hari itu, di pertigaan lampu merah itu saya melihat bapak-bapak yg setia mengayuh sepedanya dibawah terik matahari. Dan seketika itu pula, kesadaran saya akan lingkungan menjadi bertambah. Semoga kesadaran lingkungan juga semakin meningkat pada diri masyarakat. Salah satunya dengan bersepeda, seperti tradisi di SMA saya dulu. Karena sepeda adalah "senyum penuh damai" kawanku...




Komentar

ranii mahardika mengatakan…
kayaknya pernah tau sekolah itu deh . . . :p
Ruru Runarta mengatakan…
sempet juga ni si bapak ngeluarin kamera dilampu merah...ga kebayang pas lagi "ngeker" lampu mendadak ijo...hehe

Postingan populer dari blog ini

Patung Catur Muka

Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang...

Omed-Omedan

Seru banget sewaktu hunting foto omed-omedan di Sesetan. Mulai dari cari lokasi motret (ngaku jadi mahasiswa ISI, biar dapet posisi bagus), sampe berkelit dari siraman air dan hampir jatuh dari venue fotografer. Semua itu demi mendokumentasikan ajang budaya tahunan, omed-omedan... Peserta Omed-omedan yang kaget ngeliat pria yang akan menjadi pasangannya... Ekspresinya dapet ya... Akhirnya beradu juga, hehehe... Sayang anak muda dari luar Banjar Kaja ga bole ikut.. Pas mereka bergulat, panggung fotografer sudah mengeluarkan bunyi "kriak" tanda mau roboh, tapi untung ga kejadian. Biar seru, sebelum beraksi para peserta disiram dulu... hehe... Jadi ceritanya, tradisi omed-omedan ini bermula dari sepasang babi yang sedang bergulat asmara di wilayah Banjar Kaja. Sejak itu musibah penyakit yang melanda seketika hilang. Dan akhirnya petinggi Banjar Kaja pun diundang untuk beraksi di tradisi omed-omedan...

Lontar, Kekayaan Intelektual Manusia Bali (Kisah Menyelamatkan Lontar Keluarga) part 1

Hari itu, minggu 13 Januari 2013 bertepatan dengan moment Banyu Pinaruh selepas perayaan Saraswati kemarin, mendadak aku ingin ke Merajan Gede. Bukan untuk bersembahyang, karena aku termasuk orang yang bisa dibilang tidak sering2 amat untuk bersembahyang belakangan ini, tetapi untuk maksud melihat benda-benda pusaka warisan leluhur, terutama lontar. Kusapa Pemangku Merajan yang sedang membersihkan areal merajan dan segera kuutarakan maksud kedatanganku untuk melihat lontar-lontar merajan yang selama ini hanya kudengar dari ibuku. Respon positif kudapatkan, dan segera aku diajak untuk memasuki sebuah ruangan di sebelah utara areal merajanku. Memasuki ruangan, terus terang aku terkesima dengan keberadaan benda-benda pusaka yang dimikili oleh merajanku. Kulihat sebuah tongkat dan beberapa keris yang terlihat berumur cukup tua. Fokusku langsung mencari keberadaan lontar dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah kotak kayu tua berwarna coklat kehitaman dan dibeberapa bagiannya berluban...