Langsung ke konten utama

Gender, Jazz-nya Bali

Adalah sebuah instrumen musik tradisional Bali yang tetap dilestarikan hingga kini. Perlu diketahui Bali yang kecil ini ternyata memiliki segudang instrumen alat musik. Mulai dari alat musik yang paling kuno seperti selonding sampai pada instrumen kontemporer ala seniman-seniman jebolan kampus seni.

Adalah yang menjadikannya berbeda ketika instrumen satu ini memiliki kekhasan dalam menggenggam alat pemukulnya. Jika sebagian besar instrumen pukul dalam gamelan Bali posisi alat pemukul yang ada ditangan terletak di sela ibu jari dan telunjuk, maka dalam instrumen gender posisi alat pemukulnya berada diantara (dijepit) jari tengah dan telunjuk. Karena posisi pemukul gender yang berada diantara jari tengah dan telunjuk,maka dibutuhkanlah tuas yang agak pendek sehingga tumpuan tuas atau tumpuan gerakan berada di pergelangan tangan, berbeda dari alat musik yang lain yang berada di siku atau lengan. Ini dikarenakan posisi pemukul yang berada diantara jari tengah dan telunjuk tidak sekuat jika posisinya berada diantara ibu jari dan telunjuk seperti pada gangsa (gong kebyar) atau rindik.

Karena posisi memegang pemukul yg unik dan lebih banyak bermain di pergelangan tangan inilah yang menyebabkan alat musik ini tergolong susah untuk dipelajari. Terlebih alat musik ini menggunakan dua pemukul untuk tangan kiri dan kanan sehingga yang berfungsi menjadi peredam suara gaung logam adalah pergelangan tangan bagian bawah. Praktis, hampir semua bagian tangan kita berfungsi saat memainkan gender ini. Hal lain yang menyebabkan instrumen ini susah dipelajari adalah lirik. Ibaratnya musik modern, aliran dari gender ini adalah jazz. Jadi jika ingin belajar main gender, selain belajar cara menggenggam dan memukul, kita juga butuh menyerap lirik lagu dengan ekstra. Karena keunikan ini, gender kini banyak dipelajari oleh orang-orang Jepang, Korea, dan USA. Di Bali, instrumen gender kebanyakan digunakan saat upacara manusa yadnya seperti potong gigi, pawiwahan (perkawinan) dan menek kelih.

Semoga informasi ini bermanfaat untuk menambah wawasan tentang Bali, pulau kesayangan kita bersama.

Komentar

ranii mahardika mengatakan…
info nya dari sumber yg dipercaya gga ?

Postingan populer dari blog ini

Patung Catur Muka

Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang...

Omed-Omedan

Seru banget sewaktu hunting foto omed-omedan di Sesetan. Mulai dari cari lokasi motret (ngaku jadi mahasiswa ISI, biar dapet posisi bagus), sampe berkelit dari siraman air dan hampir jatuh dari venue fotografer. Semua itu demi mendokumentasikan ajang budaya tahunan, omed-omedan... Peserta Omed-omedan yang kaget ngeliat pria yang akan menjadi pasangannya... Ekspresinya dapet ya... Akhirnya beradu juga, hehehe... Sayang anak muda dari luar Banjar Kaja ga bole ikut.. Pas mereka bergulat, panggung fotografer sudah mengeluarkan bunyi "kriak" tanda mau roboh, tapi untung ga kejadian. Biar seru, sebelum beraksi para peserta disiram dulu... hehe... Jadi ceritanya, tradisi omed-omedan ini bermula dari sepasang babi yang sedang bergulat asmara di wilayah Banjar Kaja. Sejak itu musibah penyakit yang melanda seketika hilang. Dan akhirnya petinggi Banjar Kaja pun diundang untuk beraksi di tradisi omed-omedan...

Lontar, Kekayaan Intelektual Manusia Bali (Kisah Menyelamatkan Lontar Keluarga) part 1

Hari itu, minggu 13 Januari 2013 bertepatan dengan moment Banyu Pinaruh selepas perayaan Saraswati kemarin, mendadak aku ingin ke Merajan Gede. Bukan untuk bersembahyang, karena aku termasuk orang yang bisa dibilang tidak sering2 amat untuk bersembahyang belakangan ini, tetapi untuk maksud melihat benda-benda pusaka warisan leluhur, terutama lontar. Kusapa Pemangku Merajan yang sedang membersihkan areal merajan dan segera kuutarakan maksud kedatanganku untuk melihat lontar-lontar merajan yang selama ini hanya kudengar dari ibuku. Respon positif kudapatkan, dan segera aku diajak untuk memasuki sebuah ruangan di sebelah utara areal merajanku. Memasuki ruangan, terus terang aku terkesima dengan keberadaan benda-benda pusaka yang dimikili oleh merajanku. Kulihat sebuah tongkat dan beberapa keris yang terlihat berumur cukup tua. Fokusku langsung mencari keberadaan lontar dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah kotak kayu tua berwarna coklat kehitaman dan dibeberapa bagiannya berluban...