Jumat lalu adalah hari Kajeng Kliwon, salah satu hari penting bagi orang Bali. Hari itu kebetulan ada acara ritual di banjarku yang namanya Melancaran. Melancaran artinya bepergian. Yang dimaksud bepergian disini adalah simbol-simbol pemujaan yang distanakan di Pura Majapahit, pura yang disungsung oleh Banjarku, Banjar Samping Buni dan Banjar Monang-Maning. Dan simbol-simbol yang dimaksud adalah 3 Rangda, dan 1 Barong Ket.
Prosesi ini adalah dikeluarkannya simbol2 pura tersebut untuk memantau keadaan masyarakat penyungsungnya. Maksudnya adalah untuk menghalau kekuatan2 negatif agar tidak memasuki wilayah dan penduduk penyungsungnya di dua banjar tadi. Dan acara melancaran ini dilakukan di tiga lokasi sebelum simbol2 tersebut kembali distanakan. Lokasi melancaran tersebut adalah di pertigaan batas paling selatan banjarku, pertigaan batas banjarku (Samping Buni) dan Banjar Monang-Maning serta perempatan paling utara dari Banjar Monang-Maning.
Sebenarnya aku sudah sering mengkikuti acara ini, tapi baru kali ini sense of writerku keluar untuk menulis ini di blog. Dan sisi yang kuangkat adalah unsur animisme dan dinamisme dari ritual ini. Menjadi sesuatu yang menarik karena semenjak kecil kita diajarkan bahwa animisme dan dinamisme merupakan hal yang tidak sesuai zaman dan hanya digunakan oleh nenek moyang kita di zaman dulu. Bahkan, ada anggapan bahwa animisme dan dinamisme merupakan suatu tindakan sesat (jika dibandingkan dengan suatu keyakinan tertentu). Sungguh selama ini kita begitu munafik dan melupakan tradisi leluhur kita sendiri.
Animisme dan dinamisme yang diaplikasikan dalam ritual seperti ini merupakan tradisi leluhur kita sejak jaman dulu. Kenapa mesti kita tinggalkan? Toh, walaupun masyarakat ilmiah mempertanyakan esensi ritual seperti ini, adalah wajar. Karena masyarakat timur seperti Bali diwajibkan berpikir secara dua sisi, ilmiah dan non ilmiah (sekala dan niskala). Dan tidak ada teori yang mengatakan bahwa suatu masyarakat akan maju jika berpikir ilmiah dan meningggalkan tradisi non ilmiah seperti animisme dan dinamisme ini. Contoh, masyarakat jepang yang bisa maju dengan pola pikir ilmiah tanpa meninggalkan tradisi animisme dan dinamisme dari aliran Shinto yang mereka anut. Begitu juga masyarakat Bali, harus mempertahankan tradisi leluhur kita dengan tetap mengikuti perkembangan yang ada, sehingga tercipta masyarakat Bali yang maju tanpa meninggalkan tradisi. Seperti tag line dari salah satu produk busana buatan Bali, "Style is Modern, but Spirit is Tradisional".
Note: Banjar adalah kelompok lingkungan di Bali.
Prosesi ini adalah dikeluarkannya simbol2 pura tersebut untuk memantau keadaan masyarakat penyungsungnya. Maksudnya adalah untuk menghalau kekuatan2 negatif agar tidak memasuki wilayah dan penduduk penyungsungnya di dua banjar tadi. Dan acara melancaran ini dilakukan di tiga lokasi sebelum simbol2 tersebut kembali distanakan. Lokasi melancaran tersebut adalah di pertigaan batas paling selatan banjarku, pertigaan batas banjarku (Samping Buni) dan Banjar Monang-Maning serta perempatan paling utara dari Banjar Monang-Maning.
Sebenarnya aku sudah sering mengkikuti acara ini, tapi baru kali ini sense of writerku keluar untuk menulis ini di blog. Dan sisi yang kuangkat adalah unsur animisme dan dinamisme dari ritual ini. Menjadi sesuatu yang menarik karena semenjak kecil kita diajarkan bahwa animisme dan dinamisme merupakan hal yang tidak sesuai zaman dan hanya digunakan oleh nenek moyang kita di zaman dulu. Bahkan, ada anggapan bahwa animisme dan dinamisme merupakan suatu tindakan sesat (jika dibandingkan dengan suatu keyakinan tertentu). Sungguh selama ini kita begitu munafik dan melupakan tradisi leluhur kita sendiri.
Animisme dan dinamisme yang diaplikasikan dalam ritual seperti ini merupakan tradisi leluhur kita sejak jaman dulu. Kenapa mesti kita tinggalkan? Toh, walaupun masyarakat ilmiah mempertanyakan esensi ritual seperti ini, adalah wajar. Karena masyarakat timur seperti Bali diwajibkan berpikir secara dua sisi, ilmiah dan non ilmiah (sekala dan niskala). Dan tidak ada teori yang mengatakan bahwa suatu masyarakat akan maju jika berpikir ilmiah dan meningggalkan tradisi non ilmiah seperti animisme dan dinamisme ini. Contoh, masyarakat jepang yang bisa maju dengan pola pikir ilmiah tanpa meninggalkan tradisi animisme dan dinamisme dari aliran Shinto yang mereka anut. Begitu juga masyarakat Bali, harus mempertahankan tradisi leluhur kita dengan tetap mengikuti perkembangan yang ada, sehingga tercipta masyarakat Bali yang maju tanpa meninggalkan tradisi. Seperti tag line dari salah satu produk busana buatan Bali, "Style is Modern, but Spirit is Tradisional".
Note: Banjar adalah kelompok lingkungan di Bali.
Komentar
setuju , untuk selalu mempertahankan budaya peninggalan nenek moyang kita yg disebut animisme dan dinamisme . apalagi dua hal ini uda melekat erat , dan mendarah daging pada budaya dan hidup masyarakat Bali !
malah menurutku , animisme & dinamisme bukan ajaran sesat koq . inget ajaran Tri Hita Karana kan , Rik ? animisme - dinamisme menurutku adalah wujud dari Parhyangan , Palemahan dan Pawongan . coba deh cermati , pasti ada keterkaitannya !
engga setujunya , sama bagian yg mengatakan bahwa ajaran animisme - dinamisme uda dilekang jaman ! sapa bilang begitu ? menurutku sih enggak . kan masyarakat Bali pada masa kini justru semakin pandai , dan semakin mampu mengolah informasi sehingga mendorong mereka untuk semakin menghargai paham2 atau budaya2 masa lampau (baca : Budaya Hindu) yg flexibel dan universal ini .
nb : Kalo mau debat , PM aja . hahahaha
kapan kamu bakal komenku ?
hhehe
klik aja yee di namanya ,, langsung dah link ke blogku !