Langsung ke konten utama

Seniman Bali, nasibmu kini...


Rabu, 12 November 2008 seperti biasa aku kerja di lapangan, biasa jadi anak jalanan. Siang itu matahari sangat terik. Mataku ngantuk setelah tadi habis menyantap satu porsi nasi ayam kedewatan. Ubud, aku paling senang dateng kesini. Aura daerah ini sangat kental dengan nuansa ke-Bali-annya. Rasa ngantukku yang sebenarnya membahayakan nyawa ketika naik motor tiba-tiba saja lenyap ketika asap sebuah truk tua menyembur dengan warna hitam pekat, tepat didepanku. "Kurang ajar", aku segera membersihkan mukaku dengan sapu tangan yg selalu stand by di kantong celana. Upzz, ternyata truk yang ada di depanku mengangkut sekelompok remaja seniman yang entah akan pentas dimana. "Kal pentas ija Gus?" tanyaku. "i hotel .......... (sengaja aku samarkan)",jawabnya sambil ketawa melihat aku membersihkan muka setelah truknya menyemprotkan karbon monoksida secara berlebihan tepat di depanku. Hmmm, ternyata ini masih terjadi di Bali. Bayangkan, seniman Bali yang terkenal dengan kreativitasnya yang tinggi, ternyata begitu dilecehkan di daerahnya sendiri. Mereka yang akan menampilkan kreativitasnya di hadapan handai taulan guna menyenangkan hati para wisatawan,hanya diangkut oleh sebuah truk tua yang sebenarnya digunakan untuk mengangkut sapi. Memang para seniman muda ini mungkin acuh tak acuh mengenai akomodasi yang layaknya mereka terima begitu diundang pentas di hotel berbintang lima. Saya sewaktu seumuran mereka mungkin enjoy aja menikmati udara bebas diatas bak truk sambil bercanda sana temen2 yang jahil2. Mungkin orang Bali tidak bisa lepas dengan konsep ngayah (artinya hampir sama seperti yadnya, berkorban tulus tanpa mengharapkan hasil). Tapi kalau dalam kasus ini, konsep itu sepertinya jangan diaplikasikan. Karena ini sudah masuk dimensi yang berbeda, seorang seniman tidak melakukan pentas untuk kepentingan yadnya, tapi untuk kepentingan hotel yang ingin mendatangkan tamu sebanyak-banyaknya ke hotel mereka untuk mendapat keuntungan besar. Dan demi mendapatkan keuntungan besar, hotel juga harus melakukan efisiensi, mungkin salah satunya dengan menyediakan transportasi murah (truk) untuk mengangkut seniman2 belia ini mempertunjukkan ke-adiluhungan tradisi Bali.
Denpasar, 13 November 2008

Komentar

ranii mahardika mengatakan…
pernah dibahas juga di Balipost , bulan Oktober iang lalu .

*maav , lupa tanggalnya*


.rani.

Postingan populer dari blog ini

Patung Catur Muka

Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang...

Omed-Omedan

Seru banget sewaktu hunting foto omed-omedan di Sesetan. Mulai dari cari lokasi motret (ngaku jadi mahasiswa ISI, biar dapet posisi bagus), sampe berkelit dari siraman air dan hampir jatuh dari venue fotografer. Semua itu demi mendokumentasikan ajang budaya tahunan, omed-omedan... Peserta Omed-omedan yang kaget ngeliat pria yang akan menjadi pasangannya... Ekspresinya dapet ya... Akhirnya beradu juga, hehehe... Sayang anak muda dari luar Banjar Kaja ga bole ikut.. Pas mereka bergulat, panggung fotografer sudah mengeluarkan bunyi "kriak" tanda mau roboh, tapi untung ga kejadian. Biar seru, sebelum beraksi para peserta disiram dulu... hehe... Jadi ceritanya, tradisi omed-omedan ini bermula dari sepasang babi yang sedang bergulat asmara di wilayah Banjar Kaja. Sejak itu musibah penyakit yang melanda seketika hilang. Dan akhirnya petinggi Banjar Kaja pun diundang untuk beraksi di tradisi omed-omedan...

Lontar, Kekayaan Intelektual Manusia Bali (Kisah Menyelamatkan Lontar Keluarga) part 1

Hari itu, minggu 13 Januari 2013 bertepatan dengan moment Banyu Pinaruh selepas perayaan Saraswati kemarin, mendadak aku ingin ke Merajan Gede. Bukan untuk bersembahyang, karena aku termasuk orang yang bisa dibilang tidak sering2 amat untuk bersembahyang belakangan ini, tetapi untuk maksud melihat benda-benda pusaka warisan leluhur, terutama lontar. Kusapa Pemangku Merajan yang sedang membersihkan areal merajan dan segera kuutarakan maksud kedatanganku untuk melihat lontar-lontar merajan yang selama ini hanya kudengar dari ibuku. Respon positif kudapatkan, dan segera aku diajak untuk memasuki sebuah ruangan di sebelah utara areal merajanku. Memasuki ruangan, terus terang aku terkesima dengan keberadaan benda-benda pusaka yang dimikili oleh merajanku. Kulihat sebuah tongkat dan beberapa keris yang terlihat berumur cukup tua. Fokusku langsung mencari keberadaan lontar dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah kotak kayu tua berwarna coklat kehitaman dan dibeberapa bagiannya berluban...