Langsung ke konten utama

Sepenggal Cerita Dari Bencana Merapi

Sejak tanggal 26 Oktober 2010 s/d ditulisnya postingan ini (07 November 2010), perhatian kita tertuju ke bencana Merapi. Memang belakangan ini bangsa kita tak henti dirundung masalah. Setelah banjir bandang Wasior di Papua, dan gempa yang disusul tsunami di Kepulauan Mentawai, kini perhatian kita tertuju ke Gunung Merapi, gunung teraktif di dunia. Kepulan awan panas, material bebatuan, lahar dingin dan panas menerjang kawasan sekitar Gunung Merapi. Korban berjatuhan dan air mata kembali membasahi bumi pertiwi. Sekali lagi, respon masyarakat sangat tanggap dalam membantu saudara-saudara kita yang terkena bencana baik di Wasior, Mentawai dan Merapi melalui sumbangan berupa barang dan uang yang beberapa dihimpun oleh stasiun televisi melalui rekening.

Televisi di Indonesia memang sangat responsif dan cukup up to date dalam mengabarkan peristiwa yang terjadi termasuk bencana di Gunung Merapi. Tidak hanya berita terkini tentang bencana yang dikabarkan, tetapi juga komentar dari beberapa masyarakat yang mewakili kalangannya masing-masing. Ada dari ahli, politikus, budayawan dan juga artis. Semua memberikan komentar dengan gaya masing-masing. Memang ada sebagian masyarakat yang memberikan komentar bahwa bencana ini memang sudah diramalkan akan terjadi akibat ulah manusia yang kian hari kian lupa jati diri sebagai manusia yang menyebabkan penunggu Gunung Merapi yaitu Sang Hyang Petruk (Semar) menunjukkan respon negatifnya. Ini komentar dari sebagian masyarakat Jogja yang masih mempertahankan tradisi kejawen, termasuk dalam pola pikirnya (walaupun mungkin tingkat pendidikan dan gaya hidupnya sudah modern). Tetapi belum apa-apa, komentar tersebut ditanggapi sinis oleh kelompok masyarakat lain dengan berujar bahwa jangan terlalu percaya terhadap ramalan dan serahkanlah semua pada Tuhan, bukan pada yang lain.

Memang benar bahwa apa yang terjadi di semesta ini yang mengatur adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi ingat bahwa sesungguhnya manusia Indonesia telah dianugerahi oleh para leluhurnya untuk berpikir dari 2 sisi, yaitu sisi logika dan sisi non logika. Bahwa dari sisi logika, kita dituntut untuk berpikir realistis dan bisa dibuktikan. Sedangkan dari sisi non logika, kita juga diharuskan untuk berpikir bahwa semua yang terjadi saat ini adalah hasil dari apa yang kita lakukan secara general (sebab-akibat / karma). Tradisi Jawa sebenarnya telah menganugerahkan pegangan kepada masyarakatnya bahwa kita sebagai manusia harus senantiasa eling bahwa apa yang kita lakukan akan kita terima konsekuensinya. Dan, untuk menguatkan pegangan itu dibuatlah suatu keyakinan bahwa Tuhan akan menjelma sebagai sosok yang buruk rupa dalam wujud Semar (Petruk dan Gareng) untuk mengingatkan manusia kembali ke jalan yang benar. Masyarakat Jawa sejak dulu menganggap bahwa Semar ini bersemayam di Gunung Merapi. Toh, jika saat ini Gunung Merapi benar-benar telah meletus, tidak ada salahnya kita merenungi ajaran tetua-tetua kita terdahulu sambil berintrospeksi mengenai apa yang telah kita lakukan.

Kita sebagai generasi terkini penghuni nusantara hendaknya kembali ke jati diri sebagai manusia nusantara yang tidak melupakan tradisi yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita. Lihatlah segala sesuatu dari berbagai sudut pandang, karena jika kita melihat segala sesuatunya  dari satu sudut pandang, maka tak ayal akan muncullah sosok manusia yang fanatik dan antipati terhadap pola pikir yang berbeda dengan sudut pandangnya sendiri. Seperti komentar sinis dari beberapa kelompok masyarakat di televisi menanggapi ramalan tradisi kejawen tentang Bencana Merapi.

Semoga bangsa kita diberi ketabahan dalam menghadapi semua bencana yang sedang terjadi saat ini.

Komentar

Wayanyasa mengatakan…
jadi pemerhati bencana ne pak de puk...ckckckckckckc salut...#kunjungan baliknya hee hee

Postingan populer dari blog ini

Patung Catur Muka

Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang...

Omed-Omedan

Seru banget sewaktu hunting foto omed-omedan di Sesetan. Mulai dari cari lokasi motret (ngaku jadi mahasiswa ISI, biar dapet posisi bagus), sampe berkelit dari siraman air dan hampir jatuh dari venue fotografer. Semua itu demi mendokumentasikan ajang budaya tahunan, omed-omedan... Peserta Omed-omedan yang kaget ngeliat pria yang akan menjadi pasangannya... Ekspresinya dapet ya... Akhirnya beradu juga, hehehe... Sayang anak muda dari luar Banjar Kaja ga bole ikut.. Pas mereka bergulat, panggung fotografer sudah mengeluarkan bunyi "kriak" tanda mau roboh, tapi untung ga kejadian. Biar seru, sebelum beraksi para peserta disiram dulu... hehe... Jadi ceritanya, tradisi omed-omedan ini bermula dari sepasang babi yang sedang bergulat asmara di wilayah Banjar Kaja. Sejak itu musibah penyakit yang melanda seketika hilang. Dan akhirnya petinggi Banjar Kaja pun diundang untuk beraksi di tradisi omed-omedan...

Lontar, Kekayaan Intelektual Manusia Bali (Kisah Menyelamatkan Lontar Keluarga) part 1

Hari itu, minggu 13 Januari 2013 bertepatan dengan moment Banyu Pinaruh selepas perayaan Saraswati kemarin, mendadak aku ingin ke Merajan Gede. Bukan untuk bersembahyang, karena aku termasuk orang yang bisa dibilang tidak sering2 amat untuk bersembahyang belakangan ini, tetapi untuk maksud melihat benda-benda pusaka warisan leluhur, terutama lontar. Kusapa Pemangku Merajan yang sedang membersihkan areal merajan dan segera kuutarakan maksud kedatanganku untuk melihat lontar-lontar merajan yang selama ini hanya kudengar dari ibuku. Respon positif kudapatkan, dan segera aku diajak untuk memasuki sebuah ruangan di sebelah utara areal merajanku. Memasuki ruangan, terus terang aku terkesima dengan keberadaan benda-benda pusaka yang dimikili oleh merajanku. Kulihat sebuah tongkat dan beberapa keris yang terlihat berumur cukup tua. Fokusku langsung mencari keberadaan lontar dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah kotak kayu tua berwarna coklat kehitaman dan dibeberapa bagiannya berluban...