Langsung ke konten utama

Tirta Yatra Perekonomian

Hari ini, selasa 30 Agustus 2011 saya bersama ibu dan adik sepakat untuk bertirta yatra mengunjungi beberapa pura yang ada di Bali bagian utara. Tirta Yatra kali ini bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas mulai berkembangnya usaha keluarga kami dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Karena berkaitan dengan perekonomian, maka sebenarnya pura tujuan kami adalah Pura Melanting yang terletak di Kabupaten Buleleng. Sempat kebingunan dalam menentukan rute sehari sebelumnya, akhirnya saat hari H, saya menentukan rute yang saya paling tahu yaitu rute Negara. Dengan pertimbangan untuk menghindari tersesat, juga agar kami dapat mengunjungi pura lainnya seperti Pura Rambut Siwi dan Pura Pulaki. Diluar perkiraan, waktu total yang kami tempuh sewaktu berangkat sangat panjang (tercatat sekitar 3,5jam).

Pura pertama yang kami kunjungi adalah Pura Rambut Siwi yang terletak di sisi Kabupaten Jembrana. Berhubung waktu yang mepet, kami hanya bersembahyang di penyawangannya saja. Lanjut setelah melewati Taman Nasional Bali Barat, kami akhirnya sampai di Pura Pulaki. Pura ini terletak di pinggir jalan raya Seririt-Gilimanuk dan menghadap pantai utara Pulau Bali yang tak memiliki pasir. Hal unik dari pura ini adalah banyaknya gerombolan monyet yang menyertai persembahyangan kami dan umat lainnya. Saran saya, jangan menggunakan asesoris berlebihan untuk menghindari ulah monyet yang terkadang nekat untuk mengambil barang2 yang kita bawa. Selesai sembahyang di Pura Pulaki, tujuan kami selanjutnya sekaligus tujuan utama adalah Pura Melanting. Terletak agak sedikit masuk dari jalan raya Seririt-Gilimanuk, persembahyangan di pura ini memang bertujuan tidak jauh dari hal-hal yang berbau perekonomian. Terus terang, tak satupun diantara kami (ibu ataupun adik) yang pernah bersembahyang di pura ini sebelumnya. Arsitektur pura ini bisa dikatakan cukup megah bahkan mewah, karena di bagian utama pura banyak terdapat hiasan2 simbol dari uang kepeng yang berwarna kuning keemasan. Saat tiba di pura ini, kami membeli daksina (salah satu media pemujaan di Bali) yang merupakan simbol dari Ratu Pasar Agung dan Dewi Melanting yang dipercaya menguasai bidang perekonomian. Selanjutnya daksina ini kami bawa ke Pura Pasar Agung dan Pura Melanting yang terletak dalam satu kompleks untuk disucikan. Daksina ini selanjutnya kami sthanakan di pelangkiran (tempat pemujaan sederhana) yang ada di warung saya. Jadi, hikmah yang dapat saya petik seharian ini adalah untuk memajukan perekonomian kita harus mengimbangi antara aktivitas mencari pendapatan dengan aktivitas mensyukuri apa yang telah kita dapatkan. Semoga menginspirasi kawan...

Komentar

wayan yasa mengatakan…
bagos.....banyak2 bersyukur pak de...hee hee...berubah template ne selem dadi ne...aooww aooww...

Postingan populer dari blog ini

Lontar, Kekayaan Intelektual Manusia Bali (Kisah Menyelamatkan Lontar Keluarga) part 1

Hari itu, minggu 13 Januari 2013 bertepatan dengan moment Banyu Pinaruh selepas perayaan Saraswati kemarin, mendadak aku ingin ke Merajan Gede. Bukan untuk bersembahyang, karena aku termasuk orang yang bisa dibilang tidak sering2 amat untuk bersembahyang belakangan ini, tetapi untuk maksud melihat benda-benda pusaka warisan leluhur, terutama lontar. Kusapa Pemangku Merajan yang sedang membersihkan areal merajan dan segera kuutarakan maksud kedatanganku untuk melihat lontar-lontar merajan yang selama ini hanya kudengar dari ibuku. Respon positif kudapatkan, dan segera aku diajak untuk memasuki sebuah ruangan di sebelah utara areal merajanku. Memasuki ruangan, terus terang aku terkesima dengan keberadaan benda-benda pusaka yang dimikili oleh merajanku. Kulihat sebuah tongkat dan beberapa keris yang terlihat berumur cukup tua. Fokusku langsung mencari keberadaan lontar dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah kotak kayu tua berwarna coklat kehitaman dan dibeberapa bagiannya berluban

Sedikit Kesan Mengenai Singapura

Yaaah, hari itu Jumat 28 September 2012 mungkin hari bersejarah buatku karena hari ini aku pertama kali melakukan perjalanan keluar Indonesia, ya... keluar negeri tepatnya ke negeri singa, tapi tidak ada binatang endemik singa disana, atau mungkin ada tapi sudah punah....Ya, Singapura... Terminal keberangkatan international Airport Ngurah Rai pun baru kali ini kujejakkan, setelah berpuluh2 kali airport ini kudatangi. Sedikit cemas, karena ketika orang lain liburan keluar negeri pertama kali mengajak rombongan atau pasangan, kali ini saya seorang diri walaupun nantinya di Singapura saya bertemu rekan2 kantor baru disana, ya kantor baru dengan orang2 yang mayoritas belum kukenal. Setelah proses yang semuanya baru kulewati, sampailah aku di Singapura. Kesan pertama biasa saja, termasuk ketika aku masuk terminal airport ini. Banyak orang mengatakan bagus atau mewah, bagiku biasa saja. Bukan termasuk sombong, tapi karena kemewahan bukan jadi interestku untuk memberikan kesan sebuah temp

Patung Catur Muka

Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang