Dulu saya sempat nulis di notes fb, dan pagi ini ketika sebuah hari yang hanya datang 4 tahun sekali (*kabisat) saya tiba2 membaca ulang dan saya memberikan penilaian kalo tulisan ini cukup keren. Beberapa comment yang masuk di fb dari teman2 juga memberikan penilaian yang sama. Haha, makanya saya share di blog ini. Semoga berkenan...
Pagi ini aku bangun dengan agak terpaksa... Mau bagaimana lagi, teman-teman sudah menungguku di lapangan. Sudah lama bola hijau itu tidak kupukulkan dan kupantulkan dengan raketku. Tapi setelah bangun aku menenangkan diri sejenak... Kulihat matahari pagi yang mengeluarkan cahaya kuning keemasan. Tidak hanya itu, dari bibir bale bali di sebelah sanggah rumahku kulihat kerumunan burung pipit dirumput dibawah pelinggih bangunan suci di rumahku. Angin pagi pun berhembus dengan lembutnya setelah semalam bumi pertiwi dibasahi dengan guyuran hujan...
Hmmm, damai banget suasananya...Apa sih yang dicari kerumunan burung pipit itu. Ternyata yang direbutkan adalah seonggok nasi diatas daun pisang dengan secuil lauk tempe dan sayuran. Ibu memang selalu menghaturkan sesaji kecil ini seusai memasak. Sesaji sederhana ini dihaturkan sebagai rasa persembahan syukur atas anugerah yang diberikan Hyang Embang kepada kita. Ini memang tidak tercantum didalam Weda, tetapi ini adalah kebiasaan leluhur dalam mengucapkan rasa syukur secara praktikal. Yah, kebiasaan leluhur kita, leluhur orang Indonesia...Kenapa mesti kita tinggalkan hanya karena ada anggapan dari orang yg tidak paham dan menganggap sesaji adalah persembahan untuk setan. Biarlah itu mengemuka, yang terpenting burung pipit ini menikmati sajian paginya dari kita dan dari Hyang Embang.
Eh, ga cuma burung pipit yang menikmatinya, barisan semut merah pun bergerombol mendekati sajian diatas daun pisang persegi itu. Antri...antri.. Tiba-tiba, guk..guk. Shiro anjingku berlari ke arah sanggah tidak ingin ketinggalan pesta ini. Burung2pun berlari dan entah keman semut-semut merah itu karena aku segera bergegas menuju handphone ku karena ada sms dari teman:"Rik, enggalin bedik, suba main ne." hehe...
Denpasar 12 Juli 2009
Pagi ini aku bangun dengan agak terpaksa... Mau bagaimana lagi, teman-teman sudah menungguku di lapangan. Sudah lama bola hijau itu tidak kupukulkan dan kupantulkan dengan raketku. Tapi setelah bangun aku menenangkan diri sejenak... Kulihat matahari pagi yang mengeluarkan cahaya kuning keemasan. Tidak hanya itu, dari bibir bale bali di sebelah sanggah rumahku kulihat kerumunan burung pipit dirumput dibawah pelinggih bangunan suci di rumahku. Angin pagi pun berhembus dengan lembutnya setelah semalam bumi pertiwi dibasahi dengan guyuran hujan...
Hmmm, damai banget suasananya...Apa sih yang dicari kerumunan burung pipit itu. Ternyata yang direbutkan adalah seonggok nasi diatas daun pisang dengan secuil lauk tempe dan sayuran. Ibu memang selalu menghaturkan sesaji kecil ini seusai memasak. Sesaji sederhana ini dihaturkan sebagai rasa persembahan syukur atas anugerah yang diberikan Hyang Embang kepada kita. Ini memang tidak tercantum didalam Weda, tetapi ini adalah kebiasaan leluhur dalam mengucapkan rasa syukur secara praktikal. Yah, kebiasaan leluhur kita, leluhur orang Indonesia...Kenapa mesti kita tinggalkan hanya karena ada anggapan dari orang yg tidak paham dan menganggap sesaji adalah persembahan untuk setan. Biarlah itu mengemuka, yang terpenting burung pipit ini menikmati sajian paginya dari kita dan dari Hyang Embang.
Eh, ga cuma burung pipit yang menikmatinya, barisan semut merah pun bergerombol mendekati sajian diatas daun pisang persegi itu. Antri...antri.. Tiba-tiba, guk..guk. Shiro anjingku berlari ke arah sanggah tidak ingin ketinggalan pesta ini. Burung2pun berlari dan entah keman semut-semut merah itu karena aku segera bergegas menuju handphone ku karena ada sms dari teman:"Rik, enggalin bedik, suba main ne." hehe...
Denpasar 12 Juli 2009
Komentar
monggo mampir di blog motivasi sederhana saya;
http://100motivasi.wordpress.com