Langsung ke konten utama

Selamat Datang Seniman Muda Banjar Samping Buni


            Malam itu aku mampir ke bale banjar untuk melihat latihan akhir sekaa gong anak-anak banjarku yang akan berlomba dalam festival gong kebyar anak-anak se-Kota Denpasar serangkaian event Maha Bandana Prasadha di lapangan Puputan Badung. Jarang-jarang aku melihat mereka latihan secara langsung,karena biasanya sepulang kerja aku papasan sama anak-anak kecil seniman-seniman muda ini yang bubaran setelah mereka selesai latihan. Dulu aku juga seperti mereka, antusias begitu ngeliat pemade atau kantil (salah satu instrument dalam gong kebyar) dan serasa ingin segera untuk menabuh instrument pentatonic itu. Tapi anak-anak kecil ini beruntung karena jamanku seumuran mereka, di banjar belum ada perangkat gamelan gong kebyar.Yang ada hanya perangkat baleganjur. Sementara ketertarikanku ada pada gamelan gong kebyar terutama instrument pemade atau kantil. Saking menjiwainya, terkadang secara tak sadar jari-jariku bergerak mengikuti imajinasi suara gong kebyar yang ada di pikiranku. Bapak yang melihat kebiasaanku ini sempat  memvonis anaknya ini menderita gangguan saraf pada jari-jari tangan, hahaha… Situasi ini terjadi ketika aku duduk di bangku SMP,sedikit sombong kalau tiap perayaan Saraswati di sekolah dulu aku selalu masuk daftar sekaa gong kebyar sekolah…

Kembali ke suasana latihan akhir sekaa gong anak-anak banjarku. Pengamatanku terhadap kualitas suara gamelannya cukup bagus, kelihatan dari cara mereka memukul dan menutup daun instrument logam ini. Terdengar cukup rapi, ditunjang dengan ekspresi lugu mereka dalam memainkan gamelan ini. Saat asyik memperhatikan mereka latihan, aku didekati oleh salah satu Pembina sekaa gong anak-anak ini. Ucapan terima kasih terlontar darinya atas sumbangan baju seragam latihan yang sebelumnya telah kuberikan pada sekaa gong anak-anak ini. Aku membalasnya dengan ucapan terima kasih kembali, dan senang bisa membantu sekaa gong anak-anak ini supaya mereka lebih semangat untuk latihan, meski baru terbentuk 3 bulan lalu. Terdengar ucapan selanjutnya bahwa Pak Pembina ini ingin pada saat sekaa gong anak-anak ini berlomba, mereka diliput oleh video dokumentasi. Seketika aku menawarkan diri untuk membantu mendokumentasikan penampilan mereka dalam bentuk video. Kebetulan aku punya rekanan yang portfolionya bagus dalam hal dokumentasi kegiatan. Tapi aku menyampaikan ke Pak Pembina bahwa saat mereka pentas di tanggal 29 September nanti aku tidak bisa hadir karena di tanggal tersebut aku masih ada di Singapura. Dan akhirnya disepakati bahwa aku membantu dalam hal dokumentasi.

Dan tulisan ini terus terang membuatku sedikit bingung karena runtutan kejadiannya memiliki selang waktu berhari-hari, hahaha… Alhasil video dokumentasi pun sudah jadi dan dibawa kerumah oleh temanku. Rentetan rekaman video aku perhatikan dengan seksama, dan jujur aku katakan bahwa aku harus bilang kata “WOW” untuk penampilan mereka. Penampilan mereka seperti sekaa gong kebyar yang sudah lama terbentuk. Ekspresi-ekspresi lugu anak-anak ini serasi sekali dengan nuansa ceria tetabuhan yang mereka tampilkan. Dalam pementasan itu mereka menampilkan 3 tetabuhan terdiri dari tetabuhan dua, tabuh puspanjali dan tabuh iringan topeng monyer. Acungan jempol dan apresiasi tinggi pantas kuberikan pada pelatih sekaa gong kebyar anak-anak Dharma Kanti Banjar Samping Buni, karena dalam waktu tidak sampai 3 bulan telah melahirkan sebuah sekaa yang kompak dan menjiwai tetabuhan yang mereka tampilkan. Perlu kusampaikan disini bahwa sekaa ini terbentuk sejak 3 bulan lalu dan beranggotakan anak-anak yang mayoritas tidak memiliki background pemain gong kebyar. Tapi dengan semangat tinggi anak-anak ini ditunjang dengan antusias pelatih,terlahirlah Sekaa Gong Kebyar Anak-Anak Dharma Kanti Banjar Samping Buni. Selamat Datang Seniman-Seniman Muda Banjar Samping Buni. Jadilah generasi muda Bali yang berperilaku global, tetapi tetap memegang teguh tradisi dan budaya. “Style is Modern, but Spirit is Traditional.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Patung Catur Muka

Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang...

Omed-Omedan

Seru banget sewaktu hunting foto omed-omedan di Sesetan. Mulai dari cari lokasi motret (ngaku jadi mahasiswa ISI, biar dapet posisi bagus), sampe berkelit dari siraman air dan hampir jatuh dari venue fotografer. Semua itu demi mendokumentasikan ajang budaya tahunan, omed-omedan... Peserta Omed-omedan yang kaget ngeliat pria yang akan menjadi pasangannya... Ekspresinya dapet ya... Akhirnya beradu juga, hehehe... Sayang anak muda dari luar Banjar Kaja ga bole ikut.. Pas mereka bergulat, panggung fotografer sudah mengeluarkan bunyi "kriak" tanda mau roboh, tapi untung ga kejadian. Biar seru, sebelum beraksi para peserta disiram dulu... hehe... Jadi ceritanya, tradisi omed-omedan ini bermula dari sepasang babi yang sedang bergulat asmara di wilayah Banjar Kaja. Sejak itu musibah penyakit yang melanda seketika hilang. Dan akhirnya petinggi Banjar Kaja pun diundang untuk beraksi di tradisi omed-omedan...

Lontar, Kekayaan Intelektual Manusia Bali (Kisah Menyelamatkan Lontar Keluarga) part 1

Hari itu, minggu 13 Januari 2013 bertepatan dengan moment Banyu Pinaruh selepas perayaan Saraswati kemarin, mendadak aku ingin ke Merajan Gede. Bukan untuk bersembahyang, karena aku termasuk orang yang bisa dibilang tidak sering2 amat untuk bersembahyang belakangan ini, tetapi untuk maksud melihat benda-benda pusaka warisan leluhur, terutama lontar. Kusapa Pemangku Merajan yang sedang membersihkan areal merajan dan segera kuutarakan maksud kedatanganku untuk melihat lontar-lontar merajan yang selama ini hanya kudengar dari ibuku. Respon positif kudapatkan, dan segera aku diajak untuk memasuki sebuah ruangan di sebelah utara areal merajanku. Memasuki ruangan, terus terang aku terkesima dengan keberadaan benda-benda pusaka yang dimikili oleh merajanku. Kulihat sebuah tongkat dan beberapa keris yang terlihat berumur cukup tua. Fokusku langsung mencari keberadaan lontar dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah kotak kayu tua berwarna coklat kehitaman dan dibeberapa bagiannya berluban...