Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama.
Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang-undang. Tali pada badan adalah simbol reinkarnasi artinya mengetahui keadaan sebelum dan sesudah.
Catur muka berwajah empat menghadap ke empat penjuru mata angin dimana arah timur mengambil wajah Sang Hyang Iswara, bermakna keputusan kamoksan atau kebijaksanaan. Sang Hyang Brahma adalah wajah yang diambil untuk arah selatan yang berfungsi menjaga ketentraman, menghilangkan kejahatan dan menegakkan keamanan dan ketertiban. Arah barat mengambil wajah Sang Hyang Mahadewa yang dikenal sebagai Dewa Asung yang memberikan kasih sayang. Sedangkan Dewa Wisnu adalah wajah yang diusung untuk arah utara yang berarti memiliki kekuatan untuk menyucikan jiwa manusia sehingga rakyat penuh suka cita, negeri aman, dimana penduduknya senantiasa menjaga kesucian dan keindahan sehingga negeri menjadi sentosa.
Dahulunya, di lokasi perempatan ini berdiri sebuah jam raksasa yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Dan seiring dengan kemerdekaan RI, pemerintah mengganti posisi jam yang berbentuk lonceng ini dengan Patung Catur Muka pada tahun 1972.Sedangkan jam lonceng peninggalan Belanda saat ini disimpan di halaman Museum Bali. Sejak awal, pendirian Patung Catur Muka ini memiliki misi untuk mempertegas karakter budaya Bali dalam pembangunan pariwisata Bali, mengingat saat itu pemerintah sedang gencar melakukan pembangunan fasilitas penunjang pariwisata diantaranya Bandara Ngurah Rai dan Hotel Bali Beach di tahun 1969 serta kawasan Nusa Dua di tahun 1972. Panitia perumus Patung Catur Muka ini diantaranya Drs. I Wayan Mertha Sutedja, BA sebagai Ketua yang beranggotakan I Nyoman Swetja Atmanadi, BA, Drs. I Gusti Agung Mayun Eman, dan I Gusti Agung Kepakisan, SH. Ide pembuatan patung inipun bersumber dari banyak lontar diantaranya Widdhi Sastra, Gedong Wesi, Siwa Gama, Ramayana, Garuda Carita, Babad Bali, Usana Bali, Brahma Tattwa, Siwa Sesana, Niti Sastra dan Kertha Tattwa.
Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang-undang. Tali pada badan adalah simbol reinkarnasi artinya mengetahui keadaan sebelum dan sesudah.
Catur muka berwajah empat menghadap ke empat penjuru mata angin dimana arah timur mengambil wajah Sang Hyang Iswara, bermakna keputusan kamoksan atau kebijaksanaan. Sang Hyang Brahma adalah wajah yang diambil untuk arah selatan yang berfungsi menjaga ketentraman, menghilangkan kejahatan dan menegakkan keamanan dan ketertiban. Arah barat mengambil wajah Sang Hyang Mahadewa yang dikenal sebagai Dewa Asung yang memberikan kasih sayang. Sedangkan Dewa Wisnu adalah wajah yang diusung untuk arah utara yang berarti memiliki kekuatan untuk menyucikan jiwa manusia sehingga rakyat penuh suka cita, negeri aman, dimana penduduknya senantiasa menjaga kesucian dan keindahan sehingga negeri menjadi sentosa.
Dahulunya, di lokasi perempatan ini berdiri sebuah jam raksasa yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda. Dan seiring dengan kemerdekaan RI, pemerintah mengganti posisi jam yang berbentuk lonceng ini dengan Patung Catur Muka pada tahun 1972.Sedangkan jam lonceng peninggalan Belanda saat ini disimpan di halaman Museum Bali. Sejak awal, pendirian Patung Catur Muka ini memiliki misi untuk mempertegas karakter budaya Bali dalam pembangunan pariwisata Bali, mengingat saat itu pemerintah sedang gencar melakukan pembangunan fasilitas penunjang pariwisata diantaranya Bandara Ngurah Rai dan Hotel Bali Beach di tahun 1969 serta kawasan Nusa Dua di tahun 1972. Panitia perumus Patung Catur Muka ini diantaranya Drs. I Wayan Mertha Sutedja, BA sebagai Ketua yang beranggotakan I Nyoman Swetja Atmanadi, BA, Drs. I Gusti Agung Mayun Eman, dan I Gusti Agung Kepakisan, SH. Ide pembuatan patung inipun bersumber dari banyak lontar diantaranya Widdhi Sastra, Gedong Wesi, Siwa Gama, Ramayana, Garuda Carita, Babad Bali, Usana Bali, Brahma Tattwa, Siwa Sesana, Niti Sastra dan Kertha Tattwa.
Eksotisme Patung Catur Muka di Malam Hari |
Komentar
Sukses buat bli arik putranta..