Langsung ke konten utama

Antara Tradisi dan Adaptasi Musik Bali

Jujur saja, kesenangan memotret sedikit tidaknya memberikan perubahan pada saya. Obsesi memiliki kamera DSLR sejak 4 tahun lalu baru bisa terwujud 2 tahun lalu ketika mendapatkan bonus pertama, hahaha...Dan bisa ditebak, mulai 2 tahun itu pula selalu saya sempatkan diri untuk mengeksplorasi kemampuan memotret mulai dari mencari objek sederhana yang ada di lingkungan sekitar, sampai dengan sengaja datang ke suatu event khusus untuk memotret peristiwa-peristiwa panggung yang selalu menarik bagi saya. Perubahan yang paling saya rasakan adalah saya menjadi lebih sensitif terhadap hal-hal yang saya temui. Seperti saya dipaksa tidak hanya melihat sesuatu hal dari satu sudut pandang. Ya, simplenya saya menjadi terbiasa melihat sesuatu hal dari mata biasa dan mata kamera. Mata kamera seakan memaksa otak saya lebih peka untuk mencari sebanyaknya informasi mengenai objek yang saya bidik, tentunya dengan lebih detail. Kebetulan objek memotret favorit saya adalah foto panggung, khususnya musik. Dan mata kamera, memaksa otak saya untuk lebih mendalami objek yang terkadang saya foto yaitu musik etnik Bali.

Tidak bisa dipungkiri memang bahwa begitu banyak agenda event di Bali yang bertajuk festival, pesta kesenian ataupun parade budaya. Sungguh merupakan sorga bagi penggiat foto panggung seperti saya. Dan nuansa hati ini lebih terhibur tatkala tidak hanya indera mata yang terhibur oleh agenda seperti ini, tetapi juga indera pendengar melalui alunan musik etnik yang kerap ditampilkan di event2 seperti ini. Ya, musik etnik Bali. Sejauh perjalanan saya memotret musik etnik Bali, ada 3 group musik etnik yang menyita perhatian saya, khususnya kali ini berbicara mengenai indera pendengaran. Ketiga kelompok musik etnik Bali ini  diantaranya Balawan and Batuan Ethnic Fusion, Gus Teja World Music, dan Emoni Bali. Ketiga kelompok musik etnik ini selain mewakili generasi masing2 yang sebenarnya tidak jauh berbeda juga mewakili karakter khususnya masing2 selain tentunya juga memiliki persamaan yaitu penggabungan musik tradisional Bali dengan musik modern. Berbicara kolaborasi, tentu tidak hanya musik Bali yang bisa berkolaborasi dengan unsur modern. Kesenian Bali lainnya juga sudah banyak yang berkolaborasi dengan unsur modern, sebut saja tarian Bali yang mengadopsi cerita romeo juliet, atau wayang kulit yang saat ini menggunakan tata cahaya elektronik nan gemerlap.  Begitu juga dengan ketiga kelompok musik itu, mereka dengan gaya khasnya masing-masing memadukan musik Bali dengan musik modern. Melalui tulisan kasar ini, saya mencoba mengeksplore kekhasan dari ketiga kelompok musik ini tentunya dengan segala keterbatasan pengetahuan yang saya miliki sebagai manusia awam.Dalam tulisan ini juga saya tampilkan hasil-hasil foto panggung saya pada ketiga kelompok musik ini.

1. Balawan and Batuan Ethnic Fusion.
Disebut Balawan and Batuan Ethnic Fusion karena dalam kelompok ini terdiri dari gitaris kenamaan Bali yaitu Balawan yang berkolaborasi dengan kelompok musik etnik yang bernama Batuan Ethnic Fusion asal Desa Batuan Gianyar.Dalam Balawan and Batuan Ethnic Fusion, penampilan Balawan memang menjadi daya pikat utama dengan magic finger-nya. Tidak jarang dalam setiap show panggungnya, Balawan dengan garangnya menunjukkan teknik bermain gitarnya yang mengundang decak kagum penonton. Tidak hanya penampilannya sendiri yang memukau, kolaborasinya dengan Batuan Ethnic Fusion juga tak kalah menarik. Dengan sangat apik unsur tradisional dan modern bisa menyatu dalam musik mereka. Instrumen tradisional yang mereka gunakan sejenis instrumen tingklik. Selain itu mereka juga menggunakan instrumen kendang dan cengceng.Unsur tradisional juga ditampilkan dari sisi lagu, dimana mereka terkadang memainkan lagu2 rakyat Bali seperti Janger dan Meong-Meong selain lagu Indonesia dan Barat. Alat musik modern selain gitar juga digunakan drum dan bass. Kelompok musik ini sudah sering diundang manggung diluar Bali bahkan sampai keluar negeri.
perform di Denpasar Festival 2010
Batuan Ethnic Fusion perform di Sanfest 2010
2. Gus Teja World Music
Kelompok musik etnik yang kedua adalah Gus Teja World Music. Kelompok musik ini mulai dikenal akhir tahun 2010, tepatnya pada event Sanur Village Festival 2010.Berbeda dengan Balawan and Batuan Ethnic Fusion yang menonjolkan instrumen gitar dengan Balawan sebagai playernya, kelompok ini menonjolkan instrumen flute atau suling yang dimainkan oleh Gus Teja sendiri. Kesan instrumen mendayu-dayu yang melekat pada suling dibabat mentah oleh group ini karena dalam salah satu musiknya yang berjudul "Bali Party", kelompok ini berhasil memunculkan suasana pesta tropis ala Bali dengan tetap mengusung suling sebagai instrument utamanya. Terkadang dalam beberapa penampilannya, kelompok ini kerap menampilkan tarian-tarian kreasi. Instrumen lain yang digunakan adalah alat musik pukul  tingklik, gitar, bass, slokro dan perkusi. Dalam album pertamanya yang bertajuk "Rhythm of Paradise", mereka meluncurkan 8 buah musik tanpa lirik dimana yang menjadi hits adalah Morning Happines selain lagu2 lainnya seperti Full Moon dan Bali Shanti. Pada event Sanur Village Festival 2011, Gus Teja World Music meluncurkan album kedua yang bertajuk "Flute for Love."
Gus Teja dalam aksinya di Sanfest 2011
perform Gus Teja dan penari kreasinya














3. Emoni Bali
Kelompok musik terakhir yang menyita perhatian saya adalah Emoni Bali. Dengan 8 personilnya yang keseluruhan merupakan mahasiswa dan alumni Fakultas Teknik Univ. Udayana, kelompok ini memainkan musik khas mereka yang tentunya tetap menggabungkan tradisional dan modern.  Kata Emoni merupakan singkatan dari Ethnic Harmony. Emoni Bali merupakan evolusi dari grup kesenian mahasiwa Fak. Teknik Unud. Berbeda dengan 2 kelompok musik sebelumnya, tidak ada instrumen dominan dalam musik Emoni Bali, semua berjalan sejajar sesuai dengan tema harmonitas yang mereka usung. Instrumen tradisional yang mereka angkat adalah rindik dan suling serta ketimpung, sedangkan instrumen modern adalah gitar dan bass.Tidak hanya sekedar musik, mereka juga mengusung lagu ciptaan sendiri yang salah satunya berjudul "Harmoni Nada Cinta" dan "Bilang Aku Suka Kamu." Fleksibilitas juga ditunjukkan dimana mereka juga memainkan lagu-lagu barat seperti "Leaving on Jet Plane" dan juga lagu-lagu rakyat Bali seperti "Janger."
Emoni Bali perform di gathering Bank Mandiri


Performance Emoni Bali di Dharma Santhi FPMHD Unud

















Ya, kesenian Bali memang sangat adaptif dalam menerima unsur-unsur baru, termasuk unsur modernitas. Ketiga kelompok musik ini merupakan contoh dimana tradisi dan modernitas menyatu dengan mesranya yang menghasilkan genre musik baru yang kelak berkembang membentuk suatu tradisi baru. Karena tradisi bukan merupakan hak suatu kelompok umur atau generasi tertentu, dan oleh karena tradisi juga merupakan penanda kecemerlangan suatu generasi, maka selamat buat kalian-kalian yang berjiwa kreatif  yang telah membentuk sebuah tradisi.

Komentar

.gungws mengatakan…
terimakasih sudah ikut berartisipasi mendukung musik lokal,bli, ;)
sampai jumpa di panggung berikutnya
-salam berjuta harmoni-
Made Ari Putranta mengatakan…
trims kembali, tunjukkan kalo style lokal ndak kalah...itu punya kita sndiri lho. Style is modern but spirit is traditional, hehe...

Postingan populer dari blog ini

Lontar, Kekayaan Intelektual Manusia Bali (Kisah Menyelamatkan Lontar Keluarga) part 1

Hari itu, minggu 13 Januari 2013 bertepatan dengan moment Banyu Pinaruh selepas perayaan Saraswati kemarin, mendadak aku ingin ke Merajan Gede. Bukan untuk bersembahyang, karena aku termasuk orang yang bisa dibilang tidak sering2 amat untuk bersembahyang belakangan ini, tetapi untuk maksud melihat benda-benda pusaka warisan leluhur, terutama lontar. Kusapa Pemangku Merajan yang sedang membersihkan areal merajan dan segera kuutarakan maksud kedatanganku untuk melihat lontar-lontar merajan yang selama ini hanya kudengar dari ibuku. Respon positif kudapatkan, dan segera aku diajak untuk memasuki sebuah ruangan di sebelah utara areal merajanku. Memasuki ruangan, terus terang aku terkesima dengan keberadaan benda-benda pusaka yang dimikili oleh merajanku. Kulihat sebuah tongkat dan beberapa keris yang terlihat berumur cukup tua. Fokusku langsung mencari keberadaan lontar dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah kotak kayu tua berwarna coklat kehitaman dan dibeberapa bagiannya berluban

Sedikit Kesan Mengenai Singapura

Yaaah, hari itu Jumat 28 September 2012 mungkin hari bersejarah buatku karena hari ini aku pertama kali melakukan perjalanan keluar Indonesia, ya... keluar negeri tepatnya ke negeri singa, tapi tidak ada binatang endemik singa disana, atau mungkin ada tapi sudah punah....Ya, Singapura... Terminal keberangkatan international Airport Ngurah Rai pun baru kali ini kujejakkan, setelah berpuluh2 kali airport ini kudatangi. Sedikit cemas, karena ketika orang lain liburan keluar negeri pertama kali mengajak rombongan atau pasangan, kali ini saya seorang diri walaupun nantinya di Singapura saya bertemu rekan2 kantor baru disana, ya kantor baru dengan orang2 yang mayoritas belum kukenal. Setelah proses yang semuanya baru kulewati, sampailah aku di Singapura. Kesan pertama biasa saja, termasuk ketika aku masuk terminal airport ini. Banyak orang mengatakan bagus atau mewah, bagiku biasa saja. Bukan termasuk sombong, tapi karena kemewahan bukan jadi interestku untuk memberikan kesan sebuah temp

Patung Catur Muka

Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang