Selamat Raya Galungan. Walaupun telat, tapi setidaknya nuansa Galungan masih terasa. Buktinya penjor masih melengkung menghiasi jalanan... Galungan kali ini terasa sepcial, bukan karena berdekatan dengan Hari Raya Kuningan lho (itu sih sudah biasa kalee), tapi karena berdekatan dengan Nyepi dan persiapan Upacara Panca Bali Krama yang diadakan setiap 10 tahun sekali.
Bicara Galungan, kalo membahas lawar dan tape kayaknya udah habis dimakan. Beda halnya kalo kita ngebahas maknanya. Semua orang juga sudah tahu kalo Galungan itu perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma alias kebaikan melawan kejahatan. Pertanyaannya, kapan Dharma dan Adharma berperang ya? Koq, tiba-tiba Dharma udah menang begitu saja? Pertanyaan simpel tapi harusnya mendasari jiwa kita untuk merayakan Galungan. Jangan hanya terhanyut dalam euforianya saja seperti bikin penjor, nampah celeng (sembelih babi), bikin lawar dan bikin tape atau membuat banten yang super wah, biar ngalahin punya tetangga atau saudara yg lain (waduh, kalo yg terakhir ini jangan deh!). Galungan ibaratnya jam weker untuk mengingatkan kita bahwa Dharma harus menjadi landasan kita dalam menjalani kehidupan ini. Dan jam weker ini disetting agar berbunyi setiap 210 hari sekali. Tujuannya agar setelah merayakan Galungan, manusia senantiasa memegang Dharma dalam beraktivitas sampai jam weker yang bernama Galungan ini berbunyi kembali 210 hari kemudian. Pertanyaan selanjutnya, kenapa mesti diingatkan melalui jam weker yang bernama Galungan. Jawabannya, emangnya loe bangun pagi kalo ga dipasangin jam weker, huahahahaha... Jawaban yg serius, bahwa setiap manusia pasti tidak terlepas dari yang namanya papa atau kesalahan. Makanya, biar manusia tidak terlarut dalam kepapaan itu, perlu dicharge dengan pemahaman nilai-nilai Dharma melalui jam weker Galungan setiap 210 hari sekali ini.
Akhirnya, tulisan ini hanya pendapat dari seorang manusia yang berkelana mencari jati diri (cieeh). Memang, penulis tidak mau memahami agama dengan cara yang rumit, kaku dan susah dimengerti. Penulis ga mau terjebak dalam doktrin sehingga otak menjadi tercuci dan bersih menurut keyakinannya sendiri tetapi busuk jika dikaitkan dengan nilai2 kemanusiaan. Jadi, jika ada saran dan kritik mengenai pemaknaan Galungan menurut versi masing2, silahkan layangkan melalui comment, hehe...
Bicara Galungan, kalo membahas lawar dan tape kayaknya udah habis dimakan. Beda halnya kalo kita ngebahas maknanya. Semua orang juga sudah tahu kalo Galungan itu perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma alias kebaikan melawan kejahatan. Pertanyaannya, kapan Dharma dan Adharma berperang ya? Koq, tiba-tiba Dharma udah menang begitu saja? Pertanyaan simpel tapi harusnya mendasari jiwa kita untuk merayakan Galungan. Jangan hanya terhanyut dalam euforianya saja seperti bikin penjor, nampah celeng (sembelih babi), bikin lawar dan bikin tape atau membuat banten yang super wah, biar ngalahin punya tetangga atau saudara yg lain (waduh, kalo yg terakhir ini jangan deh!). Galungan ibaratnya jam weker untuk mengingatkan kita bahwa Dharma harus menjadi landasan kita dalam menjalani kehidupan ini. Dan jam weker ini disetting agar berbunyi setiap 210 hari sekali. Tujuannya agar setelah merayakan Galungan, manusia senantiasa memegang Dharma dalam beraktivitas sampai jam weker yang bernama Galungan ini berbunyi kembali 210 hari kemudian. Pertanyaan selanjutnya, kenapa mesti diingatkan melalui jam weker yang bernama Galungan. Jawabannya, emangnya loe bangun pagi kalo ga dipasangin jam weker, huahahahaha... Jawaban yg serius, bahwa setiap manusia pasti tidak terlepas dari yang namanya papa atau kesalahan. Makanya, biar manusia tidak terlarut dalam kepapaan itu, perlu dicharge dengan pemahaman nilai-nilai Dharma melalui jam weker Galungan setiap 210 hari sekali ini.
Akhirnya, tulisan ini hanya pendapat dari seorang manusia yang berkelana mencari jati diri (cieeh). Memang, penulis tidak mau memahami agama dengan cara yang rumit, kaku dan susah dimengerti. Penulis ga mau terjebak dalam doktrin sehingga otak menjadi tercuci dan bersih menurut keyakinannya sendiri tetapi busuk jika dikaitkan dengan nilai2 kemanusiaan. Jadi, jika ada saran dan kritik mengenai pemaknaan Galungan menurut versi masing2, silahkan layangkan melalui comment, hehe...
Komentar