Langsung ke konten utama

Bali Kites Festival

Bali Kites Festival tahun 2010 diselenggarakan selama 2 hari yaitu dari tanggal 24 s/d 25 Juli 2010 di Pantai Padanggalak Denpasar. Festival sekaligus perlombaan ini seakan menjadi ajang wajib bagi mayoritas banjar di seputaran Denpasar, Badung, Tabanan, Gianyar dan bahkan tahun ini ada peserta yang berasal dari Karangasem. Yah, di Bali layangan merupakan suatu permainan semua generasi yang juga digunakan sebagai komoditi budaya dan religi. Layangan di Bali dipercaya sebagai simbolisasi Sang Hyang Rare Angon yang berjasa dalam mensukseskan panen para petani. Sang Hyang Rare Angon ini disimbolkan dalam rupa seorang anak kecil yang bermain suling diatas punggung kerbau (mirip tokoh Khrisna kecil). Dahulu layangan sering dimainkan oleh petani dan anak-anaknya sambil menjaga sawah mereka. Sekarang, dengan semakin sempitnya lahan terbuka di Denpasar, layangan sering dimainkan di gang-gang dan lantai 2 rumah masing-masing.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, lomba layangan kali ini ini juga dibagi menjadi 3 kategori layangan tradisional yaitu Bebean, Janggan, dan Pecukan. Ketiga jenis layangan ini biasanya dilengkapi asesoris tambahan berupa guangan yang mengeluarkan suara ketika layangan diterbangkan. Layangan bebean, mengambil bentuk ikan dalam posisi terlentang horisontal dengan 6 sudut. Sedangkan layangan janggan mengambil bentuk burung. Akan tetapi, jika diterbangkan dengan ekor yang menjuntai panjang, layangan janggan ini mirip seekor naga.Panjang ekor layangan janggan ini bervariasi dan bahkan bisa mencapai ratusan meter. Sedangkan layangan pecukan, mengambil bentuk sebagian dari aksara suci Ong Kara, simbol dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bentuknya oval dengan dua sudut, dan paling simple diantara bentuk layangan tradisional Bali lainnya. Berikut tulisan yang merangkum aktivitas Bali Kites Festival...


Langit pantai Padanggalak yang semarak dengan warna-warni layangan. Dahulu mayoritas warna layangan terdiri dari 3 warna yaitu merah, hitam dan putih atau yang biasa disebut Tri Datu. Tetapi seiring perkembangan zaman, warna layangan semakin bervariasi.


Ekor layangan janggan sering menjadi daya tarik tersendiri ketika layangan ini mulai mengudara. Dengan ekor yang bisa mencapai ratusan meter, dibutuhkan hembusa angin kencang untuk menerbangan layangan ini.


Layangan bebean ketika take off. Layangan ini paling banyak diterbangkan oleh masyarakat Bali. Disamping cara menerbangkannya paling gampang dibandingkan jenis layangan lain, bentuknya yang menjadi primadona merupakan alasan lain layangan ini lebih populer dibanding layangan bentuk lainnya.


Eits, jangan salah...Walaupun bentuknya paling simple dibanding bentuk layangan lainnya, layangan pecukan tergolong jenis layangan yang paling susah untuk diterbangkan. Dibutuhkan teknik dan pengawasan intens, karena layangan ini sangat sensitif terhadap perubahan angin. Jika angin tidak stabil layangan ini bisa mendadak landing dengan posisi terbalik.


Ini dia rupa perwujudan Sang Hyang Rare Angon yang sering dikaitkan dengan layangan. Layangan dengan Sang Hyang Rare Angon merupakan produk budaya yang patut kita lestarikan.


Salah satu peserta lomba layangan yang terjungkal ketika layangannya mulai mengudara. Sensasi tersendiri ketika layangan kita mulai mengudara.


Semangat kebersamaan dan kekompakan team sangat dibutuhkan dalam permainan layang-layang berukuran besar. Seperti salah satu team yang berlaga di Bali Kites Festival ini.


Saatnya kembali ke banjar ketika layangan berhasil didaratkan. Semoga tradisi melayangan (bermain) layangann tetap lestari ditengah semakin sempitnya lahan terbuka di daerah perkotaan. Astungkara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Patung Catur Muka

Sebagian besar masyarakat Kota Denpasar pasti sudah tahu tentang patung Catur Muka. Yak, patung berkepala empat ini terletak di perempatan agung Kota Denpasar, dan sekaligus menjadi titik nol dari kota yang mengusung konsep kota budaya ini. Tapi tidak banyak yang tahu mengenai sejarah dan arti dari patung ini, dan tulisan di blog saya kali ini semoga bisa menambah pengetahuan kita bersama. Patung Catur Muka yang berdiri diatas bunga teratai adalah reinkarnasi dari Sang Hyang Guru dalam bentuk perwujudan Catur Gophala. Dengan mengambil perwujudan empat muka adalah simbolis pemegang kekuasaan pemerintahan yang dilukiskan dalam keempat buah tangannya. Catur Gophala memegang aksamala/genitri yang bermakna bahwa pusat segalanya adalah kesucian dan ilmu pengetahuan. Cemeti dan sabet mengandung arti ketegasan dan keadilan harus ditegakkan oleh pemerintah. Cakra berarti siapapun yang melanggar hukum dan peraturan harus dihukum. Sungu artinya pemerintahan berpegang pada penerangan atau undang...

Omed-Omedan

Seru banget sewaktu hunting foto omed-omedan di Sesetan. Mulai dari cari lokasi motret (ngaku jadi mahasiswa ISI, biar dapet posisi bagus), sampe berkelit dari siraman air dan hampir jatuh dari venue fotografer. Semua itu demi mendokumentasikan ajang budaya tahunan, omed-omedan... Peserta Omed-omedan yang kaget ngeliat pria yang akan menjadi pasangannya... Ekspresinya dapet ya... Akhirnya beradu juga, hehehe... Sayang anak muda dari luar Banjar Kaja ga bole ikut.. Pas mereka bergulat, panggung fotografer sudah mengeluarkan bunyi "kriak" tanda mau roboh, tapi untung ga kejadian. Biar seru, sebelum beraksi para peserta disiram dulu... hehe... Jadi ceritanya, tradisi omed-omedan ini bermula dari sepasang babi yang sedang bergulat asmara di wilayah Banjar Kaja. Sejak itu musibah penyakit yang melanda seketika hilang. Dan akhirnya petinggi Banjar Kaja pun diundang untuk beraksi di tradisi omed-omedan...

Lontar, Kekayaan Intelektual Manusia Bali (Kisah Menyelamatkan Lontar Keluarga) part 1

Hari itu, minggu 13 Januari 2013 bertepatan dengan moment Banyu Pinaruh selepas perayaan Saraswati kemarin, mendadak aku ingin ke Merajan Gede. Bukan untuk bersembahyang, karena aku termasuk orang yang bisa dibilang tidak sering2 amat untuk bersembahyang belakangan ini, tetapi untuk maksud melihat benda-benda pusaka warisan leluhur, terutama lontar. Kusapa Pemangku Merajan yang sedang membersihkan areal merajan dan segera kuutarakan maksud kedatanganku untuk melihat lontar-lontar merajan yang selama ini hanya kudengar dari ibuku. Respon positif kudapatkan, dan segera aku diajak untuk memasuki sebuah ruangan di sebelah utara areal merajanku. Memasuki ruangan, terus terang aku terkesima dengan keberadaan benda-benda pusaka yang dimikili oleh merajanku. Kulihat sebuah tongkat dan beberapa keris yang terlihat berumur cukup tua. Fokusku langsung mencari keberadaan lontar dan pandanganku akhirnya tertuju pada sebuah kotak kayu tua berwarna coklat kehitaman dan dibeberapa bagiannya berluban...